3 Alasan Mengapa Ibu Tak Boleh Gaptek
Assalamualaikum Sahabat Lithaetr, mari masuki dunia lifestyle, parenting, inspirasi, dan hiburan (musik, film, buku, dan drama Korea).
Izinkan saya mengeluarkan 20 ribu kata, ya sahabat. Saya mau menulis tentang alasan mengapa ibu tak boleh gaptek (gagap teknologi). Saya ingin menulis ini karena membaca sebuah status guru atau panutan saya dalam menulis, tentang sudah tidak punya televisi di rumah kok, masih bisa kecolongan.
Nasihat beliau seketika membuat saya merenung. Saya masih belum 100 persen no tv no gadget untuk anak-anak. Padahal saya tahu kalau peraturan sekolahnya si sulung itu menghimbau agar anak-anak bisa no tv no gadget di rumah.
Saya salut dengan keluarga yang sukses menerapkan hal tersebut. Saya tidak ingin berdebat soal hal tersebut, sebab untuk no tv no gadget ini kembali ke visi serta misi keluarga lagi. Bagi saya dengan menerapkan screen time dan pendampingan saat mereka nonton maupun menggunakan gawai serta melakukan komunikasi serta diskusi secara terbuka, bagi kami itu membahagiakan.
Apalagi 2 tahun tidak ke mana-mana sempat membuat saya kehabisan akal agar anak-anak bisa berkegiatan positif, akhirnya bermain game yang bermanfaat, seperti main game matematika. Apa sih, yang membuat saya merenung membaca nasihat dari gurunda saya menulis itu?
Intinya jangan merasa aman kalau sudah membatasi anak-anak karena tidak mengizinkan mereka menonton televisi atau menggunakan telepon genggam di rumah. Sebab, paparan informasi yang si anak dapatkan bisa saja dari luar rumah.
Kemudian saat ia bertanya kepada orang tuanya, termasuk ibunya, tapi ibunya tidak mengikuti perkembangan zaman dan si anak tidak merasa orang tuanya tidak nyaman diajak diskusi, kira-kira apa yang akan terjadi? Dari nasihat itulah kemudian saya merasa sebagai orang tua, khususnya ibu memang tidak boleh gaptek.
Mengapa? Silakan baca curhatan saya di sini, ya sahabat Lithaetr.
Apa sih, gaptek (gagap teknologi) itu?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (KKBI online), gagap teknologi itu tidak mengerti teknologi dan lawan kata dari melek teknologi. Bila kita berikan sedikit pengertian gaptek itu istilah dimana seseorang merasa kurang paham dengan perkembangan teknologi yang ada.
Terkait dengan gaptek ini, saya kembali bercerita tentang kisah pribadi, ya. Soalnya bagi saya pengalaman adalah sebuah guru berharga. Pengalaman ini bukanlah pengalaman pribadi tapi pengalaman papa saya. Papa saya dicopot dari jabatannya karena dianggap gaptek.
Papa saya memang mengakui kalau beliau kurang paham dengan perkembangan teknologi, tapi bukan berarti beliau enggan belajar. Cuma beliau berbesar hati, karena memang sudah saatnya diganti dengan yang lebih muda agar idenya juga bisa lebih fresh.
Selama pandemi, papa akhirnya bisa lo, menggunakan teknologi seperti zoom. Kemudian papa juga bisa mengakses website kantornya untuk absen dan memasukkan materi untuk mahasiswanya. Intinya, papa bisa memakai teknologi sesuai kebutuhan.
Oh iya, kalau anak-anak sekarang itu lebih akrab dengan gawai, sementara anak yang besar di tahun 90-an, akrab dengan playstation, sega, nitendo, dan warung internet (warnet). Saat saya masih menjadi anak, orang tua saya melarang memiliki barang-barang yang saya sebutkan tadi, cuma saya boleh memainkan game–game terkait lewat arena permainan umum dan warnet.
Jadi dulu saya kalau mau main game, ya ke rumah teman yang punya playstation, sega, atau nitendo. Kalau enggak nunggu saat belanja bulanan, biar abis belanja bisa mampir ke arena permainan anak-anak yang ada di mall.
Intinya kedua orang tua saya merasa pengawasan dan pendampingan anak-anak dalam menggunakan teknologi lebih penting. Cuma sekali lagi, terkait hal tersebut kembali kepada prinsip serta visi dan misi keluarga masing-masing. Saya percaya setiap orang tua pasti akan berusaha memberikan Pendidikan terbaik buat anak-anaknya.
Mengapa wanita sering merasa dirinya gaptek
Merasa dirinya di rumah saja, sehingga tak tahu perkembangan
Sebenarnya saya juga merasakan hal ini. Setelah berhenti bekerja dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga, saya terkadang merasa kudet (kurang update) atau kurang cepat mengetahui tentang suatu informasi.
Begitu juga dalam hal teknologi. Saking cepatnya perkembangan teknologi, saya merasa tak mampu mengikuti setiap perkembangan aplikasi yang ada. Makanya saya cukup terkaget-kaget kalau untuk sebuah aplikasi desain dan editing video audio saja sudah begitu maju.
Semenjak saya di rumah, saya merasa tak tahu menahu soal perkembangan yang terjadi, sehingga saya merasa gaptek. Akan tetapi, saya disadarkan kalau pemikiran ini salah. Semenjak saya mengikuti komunitas-komunitas, termasuk Ibu Profesional, saya jadi belajar kalau kita bisa mencari teknologi sesuai kebutuhan.
Belum ada rasa butuh untuk menggunakan teknologi
Melanjutkan penuturan di atas, sejak saya bergabung dengan Ibu Profesional, saya merasa dituntut untuk menerima dan mau belajar tentang perkembangan teknologi. Kami, para ibu dan calon ibu, yang ikut serta di Ibu Profesional, kayak disadarkan soal kebutuhan akan teknologi.
Sistem pembelajaran di Ibu Profesional yang dilakukan secara daring, mau tidak mau membuat kita mengetahui beberapa hal baru. Setelah mengetahui, kita diajak untuk bersama-sama belajar bagaimana memanfaat teknologi tersebut.
Akhirnya secara tidak sadar, karena kebutuhan belajar, para perempuan di Ibu Profesional, jadi melek teknologi. Itulah yang membuat saya sadar dan teringat, sebenarnya gaptek itu terjadi karena rasa belum butuh.
Hal akan kebutuhan teknologi juga terjadi pada papa saya, seperti yang sudah saya ceritakan di atas. Harus ada dorongan atau rasa butuh untuk menggunakan sebuah teknologi, sehingga tubuh juga akan merespon untuk berani belajar untuk tidak gaptek.
Dari dua alasan itu sih, saya merasa wanita merasa kalau dirinya merasa gaptek. Padahal di era teknologi yang begitu cepat, perempuan, khususnya ibu tidak boleh gaptek. Mengapa?
Alasan kalau ibu tak boleh gaptek
Ibu adalah guru di rumah
Dalam agama saya, yaitu Islam, perempuan itu sangat dimuliakan. Bahkan ada kata-kata mutiara dalam Bahasa Arab yang sudah cukup sering kita dengar yaitu ‘Al-ummu madrasah al-ula’ artinya Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Dari kata-kata mutiara itu saja, kita memiliki kewajiban untuk mendampingi anak-anak untuk memperoleh informasi atau pelajaran. Memang guru bukanlah orang yang paling benar dan tahu, tapi setidaknya kita bisa mendampingi serta belajar bersama-sama.
Oleh karena itu, ada baiknya ibu tidak gaptek agar bisa menjadi pusat informasi buat anaknya pertama kali. Hal tersebut, sedang saya rasakan saat ini. Tingkat keingintahuan anak-anak saya baru sedang luar biasa, saya suka merasa kewalahan menjawab pertanyaan mereka.
Tak ayal saya suka meminta mereka bersabar, agar saya bisa mencari tahu jawabannya atau mencari bersama-sama dengan mereka untuk menemukan jawabannya. Yang membuat saya merenung juga terkait nasihat gurunda menulis saya juga karena ini pengalaman pribadi saya.
Saya dan suami memang belum menginstal sebuah aplikasi yang tren saat ini, karena kami merasa belum butuh dan aplikasi tersebut masih belum membawa manfaat positif. Akan tetapi, lingkungan sekitar kami, ada yang menggunakan aplikasi tersebut dan anak-anak kami melihat kegiatan teman-teman sebayanya melakukan aktivitas dengan aplikasi tersebut.
Adakalanya putri sulung saya ingin tahu sehingga ia buat video pendek dari aplikasi instagram. Dalam proses pembuatannya, saya berusaha mendampingi, kalau semisal dia tidak izin menggunakan biasanya saya tegur. Jadi saya merasa ibu tidak boleh gaptek itu nyata.
Sarana menjemput rezeki
Setelah bergabung ke beberapa komunitas, saya jadi terbuka kalau dari teknologi bisa menjemput rezeki. Beberapa teman-teman yang saya kenal lewat sosial media (sosmed), mereka bisa berjualan via sosmednya.
Dengan teknologi, teman-teman saya bisa menjemput rezeki lewat jalur berdagang. Ada juga teman-teman yang lewat tulisan bisa mendapatkan pendapatan. Ternyata ada lo, media-media yang menyediakan tempat para penulis mendapatkan penghasilan.
Kalau kita mau membuka diri dengan teknologi, kita bisa menjemput rezeki. Dari melek teknologi, banyak para wanita yang menyelamatkan keluarganya, karena dampak pandemi. MasyaAllah, memang kalau sudah merasa butuh, kita terlecut untuk mengulik lebih jauh.
Ajang berkreativitas
Saya merasa salut dengan teman-teman saya di komunitas, termasuk Ibu Profesional. Mereka bisa memanfaatkan teknologi untuk berkreativitas. Saya merasa ibu tak boleh gaptek agar bisa berkreativitas lebih jauh.
Apalagi dengan berkreativitas ibu menjadi bahagia, insyaallah keluarga pun tertular kebahagiannya. Awal mula bisa banget untuk membuat kreativitas untuk mencari ide permainan anak atau ide buku bacaan untuk anak.
Kemudian bisa juga membuat kreativitas karyanya anak-anak atau pendokumentasian tumbuh kembang anak-anak. Setidaknya kreativitas itu bisa untuk memutar memori bagi pribadi dan anak-anak kelak. Kreativitas sederhana akan sangat berarti jika dilakukan dengan tulus dan bahagia.
Demikianlah alasan-alasan mengapa ibu tak boleh gaptek. Bagaimana sahabat Lithaetr, apakah setuju dengan saya? Silakan berikan tanggapannya di kolom komentar.
Oh iya sahabat, insyaallah saya akan punya karya baru yang juga terkait dengan wanita dan teknologi. Kalau penasaran, simak terus updatenya di tulisan-tulisan Lithaetr, berikutnya ya. Terima kasih.
0 coment�rios:
Yuk, kita berdiskusi di sini ☺💕. Terima Kasih.