Gambar: pixabay Assalamualaikum Sahabat Lithaetr, mari masuki dunia parenting, inspirasi, dan hiburan (musik, film, buku, dan drama Ko...

Ternyata Tidak Semua Prasangka itu Dosa, Lo! Inilah 5 Contohnya

Gambar: pixabay
Assalamualaikum Sahabat Lithaetr, mari masuki dunia parenting, inspirasi, dan hiburan (musik, film, buku, dan drama Korea).

Namanya juga manusia, tidak ada yang tidak pernah berbuat dosa. Bahkan Rasulullah Saw. yang sudah dijamin masuk surga pun pernah mendapat teguran dari Allah Swt, karena pernah melakukan kesalahan. Apalagi kita yang manusia biasa, pasti sering berbuat salah dan tanpa kita sadari telah berbuat dosa. Salah satunya yang mungkin sering kita lakukan adalah berprasangka. Padahal berprasangka, khususnya membuat prasangka buruk itu dosa. Hal ini sudah tersampaikan dalam firman Allah Swt., dalam surah Al-Hujurat ayat 12.
Gambar: facebook/tsurayyasumayyah.hanief
Namun, benarkah semua hasil dari sebuah prasangka itu dosa? Setelah membaca dari beberapa sumber, saya pun mendapatkan sebuah jawaban yang cukup membuat saya lega. Ternyata tidak semua hasil dari sebuah prasangka itu dosa. Ada juga prasangka-prasangka yang dibolehkan atau boleh dilakukan. Apa sajakah prasangka itu? Yuk, ikuti terus ulasan saya di sini.
Memang tidak hanya Allah yang melarang hamba-Nya untuk berprasangka, Rasulullah Saw. pun mengingatkan pengikutnya untuk tidak melakukan prasangka. Inilah hadistnya,

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث

jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR. Bukhari-Muslim). (Sumber: muslim.or.id/prasangka buruk yang dibolehkan).

Dilansir dari konsultasisyariah (05/08/2017), Prasangka yang dalam bahasa arab, ada dua makna atau arti. Ada prasangka yang disebut dzan [الظن], memiliki arti ragu namun sudah ada kecenderungan kepada salah satu sangkaan. Lalu, ada prasangka yang disebut syak [الشك], memiliki arti ragu dan tidak bisa menentukan mana yang lebih kuat. Kata dzan ini banyak digunakan dalam Alquran.
Gambar: pixabay
Ibnul Qayim menyebutkan, penggunaan kata dzan (praduga) dalam al-Quran memiliki 5 makna;

[1] Ragu-ragu [الشك], tidak bisa menentukan mana yang lebih utama, sama sekali.
Seperti firman Allah,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. al-Jatsiyah: 24)
[2] Yaqin [اليقين], kata dzan dalam hal ini disertai dugaan kuat hingga sampai tingkatan yakin
Seperti firman Allah,
قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ
“Orang-orang yang yakin mereka akan bertemu Allah…” (QS. Al-Baqarah: 249)
[3] Menuduh [التهمة]
Seperti firman Allah,
(وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ)
“Dia (Muhammad) bukanlah termasuk orang yang tertuduh terhadap hal yang ghaib.” (QS. At-Takwir: 24)
Karena berita ghaib yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. adalah berita yang murni benar, jujur, dan tidak hasil mengarang.
[4] Mengira [الحسبان]
Seperti firman Allah,
وَلَٰكِن ظَنَنتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِّمَّا تَعْمَلُونَ
Akan tetapi kalian mengira, Allah tidak mengetahui banyak hal yang telah kalian lakukan. (QS. Fushilat: 22)
[5] Kedustaan [الكذب]
Seperti firman Allah,
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (QS. An-Najm: 28)
Itulah 5 alasan mengapa prasangka akhirnya menjadi sebuah dosa dan dilarang. Namun, ternyata ada 5 Prasangka yang dibolehkan atau tidak menjadi sebuah dosa. Mengapa prasangka tersebut dibolehkan? Tentu saja, karena prasangka tersebut lolos dari syarat-syarat yang dianjurkan oleh para Ijtima’ (proses pengambilan suatu keputusan terhadap sebuah kasus atau peristiwa dengan merunut kepada Alquran dan hadist) Para Sahabat Rasulullah dahulu.

Inilah contoh prasangka yang dibolehkan,

[1] Mengatakan sebuah prasangka, namun sudah memiliki bukti-bukti atau fakta-fakta pembenarannya
Gambar: pixabay
Namun ketahuilah, ada prasangka buruk yang dibolehkan. Syaikh As Sa’di menjelaskan surat Al Hujurat ayat 12 di atas: “Allah Ta’ala melarang sebagian besar prasangka terhadap sesama Mukmin, karena ‘sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa’. Yaitu prasangka yang tidak sesuai dengan fakta dan bukti-bukti.” (Taisir Karimirrahman). Namun jika suatu prasangka didasari bukti atau fakta, maka tidak termasuk ‘sebagian prasangka‘ yang dilarang.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan:

فالواجب على المسلم أن لا يسيء الظن بأخيه المسلم إلا بدليل، فلا يجوز له أن يتشكك في أخيه و يسيء به الظن إلا إذا رأى على أمارات تدل على سوء الظن فلا حرج

“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim adalah hendaknya tidak berprasangka buruk kepada saudaranya sesama Muslim kecuali dengan bukti. Tidak boleh meragukan kebaikan saudaranya atau berprasangka buruk kepada saudaranya kecuali jika ia melihat pertanda-pertanda yang menguatkan prasangka buruk tersebut, jika demikian maka tidak mengapa.” (sumber: muslim/prasangka buruk yang dibolehkan)

Dari penjelasan tersebut maka prasangka yang didasari oleh bukti-bukti, atau pertanda, atau sebab-sebab yang menguatkan tuduhan itu dibolehkan.

[2] Berprasangka buruk dengan orang yang terbiasa berbuat buruk

Kalau sahabat pernah merasa harus menjauhi seseorang karena dia terbiasa mencuri, maka prasangka seperti itu dibolehkan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

يحرم سوء الظن بمسلم، أما الكافر فلا يحرم سوء الظن فيه؛ لأنه أهل لذلك، وأما من عرف بالفسوق والفجور، فلا حرج أن نسيء الظن به؛ لأنه أهل لذلك، ومع هذا لا ينبغي للإنسان أن يتتبع عورات الناس، ويبحث عنها؛ لأنَّه قد يكون متجسسًا بهذا العمل

“diharamkan suuzhan kepada sesama Muslim. Adapun kafir, maka tidak haram berprasangka buruk kepada mereka, karena mereka memang ahli keburukan. Adapun orang yang dikenal sering melakukan kefasikan dan maksiat, maka tidak mengapa kita berprasangka buruk kepadanya. Karena mereka memang gandrung dalam hal itu. Walaupun demikian, tidak selayaknya seorang Muslim itu mencari-cari dan menyelidiki keburukan orang lain. Karena sikap demikian kadang termasuk tajassus.”

Walaupun kita boleh berprasangka buruk dengan orang yang terbiasa berbuat buruk, namun janganlah kita mencari-cari dan menyelidiki keburukan orang lain. Karena sikap demikian kadang termasuk tajassus.

[3] Berprasangka buruk terhadap musuh saat berada di medan perang
Gambar: pixabay
Abu Hatim Al Busti menyatakan:

من بينه وبينه عداوة أو شحناء في دين أو دنيا، يخاف على نفسه، مكره، فحينئذ يلزمه سوء الظن بمكائده ومكره؛ لئلا يصادفه على غرة بمكره فيهلكه

“orang yang memiliki permusuhan dan pertarungan dengan seseorang dalam masalah agama atau masalah dunia, yang hal tersebut mengancam keselamatan jiwanya, karena makar dari musuhnya. Maka ketika itu dianjurkan berprasangka buruk terhadap tipu daya dan makar musuh. Karena jika tidak, ia akan dikejutkan dengan tipu daya musuhnya sehingga bisa binasa.”

[4] Berprasangka buruk terhadap hal-hal yang dapat merusak syariat

Diambil dari sumber muslim.or.id (20/06/2015), contohnya prasangka buruk di poin 4 ini dibutuhkan dalam rangka kemaslahatan syariat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kemaslahatan adalah: kegunaan; kebaikan; manfaat; kepentingan. Oleh karena itu, kita perlu berprasangka buruk terhadap hal-hal yang dapat merusak syariat, dibolehkan.

[5] Berprasangka buruk dalam rangka menimbulkan simpati atau empati kepada orang lain

Emang bisa dari prasangka buruk menimbulkan simpati atau empati kepada orang lain? Mari kita ambil hikmah dari kisah berikut ini,

Dulu para sahabat, pernah berprasangka untuk orang yang tidak hadir salat berjamaah,
Ibnu Umar mengatakan,
إنا كنا إذا فقدنا الرجل في عشاء الآخرة أسأنا به الظن
Dulu, ketika kami tidak menemukan seseorang ketika jamaah isya, maka kami memiliki suudzan kepadanya. (sumber: Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)).

Para sahabat suudzan (berprasangka buruk) kepada orang yang tidak ikut salat berjamaah tersebut, karena mungkin saja orang itu sedang ada masalah. Setelah diselidiki ternyata benar kalau orang tersebut menghadapi masalah. Karena itu, boleh saja orang suudzan kepada orang lain yang memiliki gelagat bermasalah. Demikian, Allahu a’lam.
Mengambil hikmah dari kisah di atas para sahabat berprasangka buruk agar menimbulkan sebuah simpati atau empati terhadap orang lain. Sebenarnya para sahabat pastilah sudah membaca fakta kalau orang tersebut sedang memiliki masalah, jadi begitu mereka berprasangka ada fakta yang mengikutinya. Jadi prasangkan seperti ini dibolehkan. Setelah prasangka buruk terbukti, kita bisa membantu orang yang sedang kesulitan tersebut.

Oh iya bisa juga baca:


Itulah 5 prasangka yang dibolehkan dan tidak menyebabkan dosa. Bagaimana pendapat sahabat terkait prasangka ini? Silakan berikan tanggapannya, ya. Terima kasih sudah mampir di blog saya.

4 comments:

  1. Syukron mba litha jd nambah ilmunya 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Bun. Sudah berkunjung ke blog saya. Insyaallah saya akan berkunjung kembali ke blog Bunda ya 😍😍

      Delete
  2. Ini blog gado-gado ya? Terus saya agak pusing pas ngebaca. Ada tulisan yang warna hitam terus putih 😅

    Btw, komen balik ya ke blog ku animangakun.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sesuai tagline kakak. Masuki dunia parenting, inspirasi, dan hiburan 😁. Kalau masih berkaitan dengan 3 hal itu ya ditulis. Sesekali kesehatan juga boleh hehehehe.

      Iya kakak. Ini karena masih pakai template gratisan. Semoga next bisa memakai yang berbayar. Biar betah bacanya. Doakan biar dimudahkan ya kakak. Sip nanti saya komentarin lagi kak

      Delete

Yuk, kita berdiskusi di sini ☺💕. Terima Kasih.

Karya Antologiku

My Community

Teman-Teman SehatiQ

Blog Archive